That’s How Our Love Is

Sayup-sayup bunyi kereta api perlahan menyambutku setelah helm dan motor bututku terparkir rapi di parkiran Stasiun Tugu. Setiap Sabtu siang paruh semester ini, aku memiliki suatu kebiasaan baru, yaitu membelah kota Jogja dari Jalan Kaliurang hingga Stasiun Tugu. Lingkungan depan Stasiun Tugu itu dikelilingi oleh hotel-hotel berbintang dan juga ruko-ruko mewah yang mungkin hanya dikunjungi oleh orang-orang yang berada. Orang-orang di sana ramai berlalu lalang dan sibuk dengan perjalanannya. Namun sayangnya, bangunan-bangunan yang tampak megah itu seakan menutup suatu realita lain di sekitar stasiun tugu.

Apabila kita berjalan ke arah timur, kita akan berjumpa dengan pemukiman padat penduduk yang dikenal sebagai salah satu area lokalisasi yang bernama Bong Suwung. Nama “Bong” atau “Ngebong” tak terlepas dari sejarah daerah tersebut yang konon katanya merupakan bekas makam orang-orang Tionghoa. Sebenarnya, tempat tinggal yang mereka huni sekarang juga merupakan bangunan yang berdiri di atas tanah milik PT KAI. Jujur, karena sudah lama berdinamika dengan mereka, ada satu ikatan emosional yang membuatku sedikit khawatir, bagaimana jika sewaktu-waktu PT KAI meminta hak mereka dan menggusur secara paksa orang-orang yang ada di situ.

Perjalanan dinamika bersama teman-teman di Bong Suwung dimulai dari kami, para mahasiswa semester 5 Fakultas Teologi Wedhabakti, yang mencari tempat untuk pengabdian sosial. Waktu itu, salah satu rekanku yaitu Fr. Aang secara kebetulan melihat postingan temannya di Instagram yang mengunggah kegiatan mengajar anak-anak di Bong Suwung. Melihat peluang ini, kami pun langsung tertarik untuk bergabung dengan para volunteer yang mengajar di sana. Kami kemudian diminta untuk menghubungi Pater Pieter, S.J. yang merupakan penanggung jawab Yayasan Realino, sebuah yayasan dari Kongregasi Serikat Jesus yang menaungi kami dalam kegiatan mengajar di Bong Suwung. Pertemuan dengan Pater Pieter bagiku secara pribadi merupakan satu pertemuan berahmat karena beliau adalah pribadi yang sangat easy going dan humble serta banyak mengajarkanku hal-hal yang secara langsung mungkin tak disadari olehnya. Singkat cerita, Pater Pieter sangat terbuka dan senang dengan kehadiran kami untuk bergabung bersama mereka.

Kami kemudian diberi kesempatan untuk berdinamika bersama dengan anak-anak di Bong Suwung setiap Sabtu dan di daerah Jombor setiap Kamis. Di Jombor hal yang diajarkan adalah pendidikan Bahasa Inggris dasar untuk anak-anak SD. Selain itu, para voluntir di sini juga memfasilitasi pembelajaran bahasa Inggris untuk beberapa anak yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan di Bong Suwung, kami diminta untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan dasar dalam mengembangkan keterampilan dan kreativitas seperti melipat origami, membuat pigura dari barang-barang bekas, menuliskan dan menggambarkan cita-cita mereka, dan lain-lain. Dalam setiap dinamika yang ada, kami selalu berusaha memberikan suasana keceriaan dengan mengadakan beberapa game sederhana serta reward kecil-kecilan untuk mereka yang sudah hadir.

Dari kedua tempat itu, jujur Bong Suwung lebih menantang untukku. Anak-anak di sana sangat aktif, terlampau aktif maksudnya. Kami harus sedikit bekerja keras untuk bisa membangun suasana yang kondusif di Bong Suwung. Mereka adalah anak-anak yang notabene berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Latar belakangnya pun berbeda-beda. Ada yang sudah putus sekolah. Ada yang bapaknya entah di mana. Ada yang diasuh oleh neneknya sejak kecil, dan lain-lain. Mereka adalah anak-anak yang sangat butuh untuk diperhatikan. Mereka juga mempunyai kebutuhan akan hiburan dan kebersamaan yang membuat mereka terlampau asyik bila sudah berkumpul dan bermain bersama teman-teman seusia. Terkadang, ada rasa emosi dan gemes dengan tingkah laku mereka. Namun, kami sendiri memang telah sepakat untuk tidak berlaku keras kepada mereka. Misi kami memang untuk mencintai mereka setulus mungkin. Kami tahu bahwa sebagian anak di sana itu dididik dengan cukup keras oleh orangtuanya. Aku bahkan pernah melihat sendiri orangtua yang “ringan tangan” dan “ringan ucapannya” ketika sedang memarahi anaknya. Oleh sebab itu, kami membuat kesepakatan untuk sebisa mungkin tidak menegur anak secara keras, baik fisik maupun kata-kata.

Satu pengalaman yang membuatku terkesan berdinamika bersama dengan anak-anak di Bong Suwung adalah ketika kami mengadakan rekreasi bersama di Galaxy Waterpark. Di tempat tersebut, aku sangat terkesan dengan senyum dan kebahagiaan yang sederhana dari mereka. Aku merasa bahwa mereka adalah adik-adikku sendiri. Aku dan para volunteer yang lain mengawasi dan menjaga mereka di kolam sebagaimana seorang kakak menjaga adiknya. Kami tertawa bersama ketika berselancar, memacu adrenalin di sebuah perosotan yang cukup mengerikan di tempat itu. Kebersamaan di Galaxy Waterpark menurutku menjadi sebuah moment untuk melepas kecanggungan-kecanggungan yang masih ada ketika proses dinamika di Bong Suwung berjalan.

Terlepas dari itu semua, pernah terbersit di pikiranku. ”Apa sih sebenarnya kegunaan kami di mata mereka? Apakah melipat kertas, membuat baling-baling, mewarnai gambar, merangkai manik-manik akan berpengaruh bagi kehidupan mereka?” Pertanyaan itu kemudian menemukan jawabnya ketika setiap kali aku ke sana dan melihat senyum mereka. Kehadiran kami di sana mungkin tak serta merta mengubah situasi sosial ataupun masa depan mereka. Namun demikian, aku merasa kehadiran para volunteer di sana akan selalu membawa cinta yang besar bagi hidup mereka nantinya.

Kesempatan bersama mereka secara pribadi bagiku menjadi sebuah blessing in disguise, rahmat yang tersembunyi. Walaupun aku, secara bebas, telah memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai seorang calon imam di awal Agustus lalu, aku masih diberi peluang rahmat untuk tetap menjadi berkat bagi orang-orang yang ada di sekitarku.

Melalui pengalaman mengajar di Bong Suwung, maka cinta, kasih dan kebahagiaan semakin terukir nyata dalam bentuk keterlibatan. Sesederhana melihat anak kecil yang bertengkar, menangis, dan kemudian mudah memaafkan walau nantinya bertengkar lagi. That’s how our love is. Aku menemukan cinta itu ada. Lalu bahagia yang sederhana kemudian memperoleh definisi yang nyata. Aku menemukan bahwa itulah sejatinya arti dari seluruh ungkapan dinamika kami dalam melipat kertas, membuat baling-baling, merangkai manik-manik ataupun menuliskan mimpi-mimpi sederhana dengan dibalut dengan canda, tawa, dan kadang air mata. Aku sangat setuju dengan Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul Saman bahwa Paulus menghabiskan seluruh hidupnya untuk berbicara tentang kasih, namun kasih tanpa keterlibatan adalah satu pengalaman yang tak dapat diringkus oleh kata-kata. Aku berharap agar semakin banyak orang mampu untuk menjadi agen-agen kebaikan di manapun mereka berada karena aku selalu percaya bahwa sekecil apapun kebaikan yang diusahakan oleh seseorang, tak pernah mengubah esensi dari kebaikan itu sendiri.

Ad Maiorem Dei Gloriam!

Yohanes Agil Parikesit

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *