Semoga potongan lagu Sahabat Kecil milik Ipank ini mampu mewakili perasaan saya sekarang,
Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Suasana pinggir rel kereta di Stasiun Tugu menjadi refren yang saya rasakan setiap akhir pekan. Bau oli dan mesin, riuh pekerja yang sedang beristirahat, dan warga kampung Bong Suwung yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing menjadi pemandangan yang selalu saya lihat. Saya seperti merasakan secara langsung suasana yang terjadi di film Joshua Oh Joshua produksi tahun 2001. Film itu masih terngiang dalam benak saya karena memang berkesan. Keterpesonaan tersebut sama halnya saat saya menemani teman-teman kecil saya di Bong Suwung. Sebenarnya saya ini adalah orang yang mudah sekali tersentuh perasaanya. Ya, anggap saja saya ini orangnya mudah untuk baper.. Maka saat saya harus berinteraksi dengan anak-anak dan tidak sengaja mendengar kisah hidup mereka, ada air mata yang menetes perlahan dalam hati saya.
Perjalanan ini saya mulai saat saya dan keempat teman saya harus menjalani studi lapangan yaitu pengabdian sosial. Singkat cerita, saya mengenal Yayasan Realino Seksi Pengabdian Masyarakat dari salah seorang teman. Orang pertama yang saya tuju adalah Romo Pieter, yang pada saat saya menelepon masih Diakon Pieter. Memiliki kepribadian yang santuy, humble, tetapi juga pakewuhan menjadi first impression saya kepada beliau. Ternyata saat saya bergabung di komunitas ini, saya juga bertemu dengan orang-orang yang hebat menurut saya. Saya mengenal istilah volunteer ya di komunitas ini. Saya terkesan karena masih ada orang yang mau mengatur waktunya untuk nyelakke menemani anak-anak di Bong Suwung dan juga di Jombor. Di saat banyak orang berlomba-lomba menggapai kesuksesan diri, ternyata masih ada orang yang mau untuk memberikan diri untuk mendukung kesuksesan orang lain. Jujur saya terharu, karena bukan sekadar materi, tetapi juga waktu, dan tenaga kalian berikan untuk orang lain. Nais gaessh, kalau kata Romo Pieter. Terima kasih boleh mengenal teman-teman, ada Mbak Lusi, Mbak Ria, Joni, Nervi, Devina, Lintang, Dita, Dhira, Rani, Echa, Mas Wahyu, para Suster ADM, para Frater Scholapio dan juga teman-teman yang lalu lalang hadir. Ingatlah kawan, jerih payah, keringat, serta pengabdianmu mungkin tidak dibalas Tuhan sekarang, tetapi suatu saat pasti Tuhan akan memberikan berkat-Nya kepada panjenengan sedaya yang sudah mau menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya.
Bertemu dengan teman-teman kecil saya, terkhusus di Bong Suwung membuat saya selalu bertanya dalam hati tentang bagaimana latar belakang mereka dan apa yang mereka kerjakan di luar kelas ini. Di balik keceriaan mereka, keramaian mereka, dan juga kenakalan mereka tersimpan rapi segala kisah hidup yang pasti lebih berat dari apa yang saya rasakan. Contohnya adalah saat kita rekreasi ke Galaxy Waterpark, saya mendengar anak kecil mengatakan “Wah ini pertama kalinya aku makan KFC” dan saat itu diri saya membeku seketika. Saya ingin menangis rasanya. “Hey nak secara tidak langsung kamu mengajarkanku untuk selalu bersyukur setiap harinya!!!! Bukan soal KFC nya, tetapi soal bagaimana anak itu menerima apa yang didapatkan dari panitia. Saya? Diberi tempe dan sayur saja sudah lari menuju ke warmindo andalan. Tidak cukup dengan itu, saat sesi makan saya harus melihat salah seorang dan juga mbah kakungnya makan suap-suapan beralaskan kardus. Moment tersebut berbicara banyak bagi diri saya. Apakah saya sudah mencintai orang terdekat saya? Apakah saya sudah bersyukur atas pemberian Tuhan setiap harinya? Ya, memang dalam proses ini saya menjadi “guru” bagi teman-teman kecil saya, tetapi justru terkadang saya belajar banyak dari mereka.
Soal ciri khas mereka yang begitu bar-bar saat pelajaran, saat harus diam sejenak, saat untuk diminta memperhatikan sampai diminta baris di akhir pelajaran saja susahnya bukan main. Pasti harus ramai, dan tak jarang kata-kata kasar keluar, serta pukulan yang sepertinya sudah lanyah mereka berikan kepada temannya. Di balik segala keberingasan tersebut, sebenarnya ada perasaan yang mereka harapkan, karena mungkin perasaan tersebut kurang mereka dapatkan dari orang-orang terdekat mereka. Tidak lain tidak bukan adalah perasaan kasih sayang. Kebahagiaan mereka saat didengarkan, dipangku, digendong, digoda, diperhatikan oleh volunteer tidak lain adalah sebuah hubungan sebab akibat dari keseharian mereka di rumah. Harus saya akui bahwa setiap dari mereka memiliki mental baja dan kelak akan menjadi pribadi yang tangguh dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Perjalanan bersama teman-teman kecil saya merupakan perjalanan membagikan cinta kepada sesama. Cinta tersebut berwujud perhatian yang diberikan kepada anak-anak hebat ini. Levinas dalam teori penampakan wajah mengatakan bahwa tanggung jawab kepada orang lain itu dimulai saat sejak kita bertemu/berhadapan dengan orang tersebut. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kebahagiaan hidup orang lain, kesejahteraan orang lain, termasuk membantu sesama merupakan tugas dari setiap manusia. Melihat realita yang begitu pedih, hendaknya empati kita digerakkan untuk datang dan memberikan diri kita.
Pendidikan merupakan suatu jalan bagi setiap pribadi untuk bangkit dari ketertindasan, baik ketertindasan fisik maupun ketertindasan lainnya yang dialami oleh masing-masing pribadi. Dengan pendidikan, orang tidak hanya menerima materi, tetapi juga digerakkan untuk mengenali diri dan mampu mengalahkan ketertindasan hidupnya dengan kemampuan yang berupa harta karun di dalam dirinya. Kehadiran para volunteer dapat menjadi fasilitator bagi anak-anak untuk menggapai pendidikan yang layak. Setiap pribadi yang kita temui adalah guru dan setiap waktu yang kita jalani adalah proses belajar.
Di bagian ini, saya ingin mengungkapkan kegelisahan dan harapan saya untuk teman-teman kecil saya di Bong Suwung (dan juga Jombor).
“Teman-teman, meskipun kisah hidupmu berat, tetaplah belajar, tetaplah mencari tahu, gapailah harapanmu, dan mimpi-mimpimu. Kisah hidup kalian berbeda dengan cerita dramatis di film ‘Joshua oh Joshua.’ Kesuksesan itu diperjuangkan, bukan sekadar dinanti! Percayalah, kalian tidak berbeda dengan orang lain, kalian sama; kalian berhak untuk sukses dan menjadi orang-orang hebat di masa depan. Kakak percaya, lambat laun kenakalanmu akan luntur seiring dengan tanggung jawab hidup yang akan kalian emban esok. Terima kasih boleh mengenal dan menjadi bagian dari kalian. Sampai bertemu di masa depan dengan segala kesuksesan dan pencapaian kita masing-masing.”
Semangat selalu, teman-teman kecilku di Bong Suwung dan di Jombor. Berkibar selalu bendera Realino untuk mewartakan kebaikan!
Aloysius Anggoro Ariotomo – Volunteer SPM Realino